Daerah yang tidak asing di telinga pengagum alam seperti kami. Nama yang
mengingatkan pada peristiwa sesatnya kami sewaktu masuk hutan hanya
karena mencari rebung lewat jalan setapak yang baru pertama kali kami
lewati. Kampung yang juga pernah menjadi tempat berteduh para pengungsi
dayak dari kota ketika berkobar kerusuhan Dayak-Madura 1997 lalu.
Pengungsi itu termasuk keluarga kami. Seingatku, kerusuhan terjadi pada
liburan kenaikan kelas Catur Wulan III di mulai dan aku masih kelas 1
SMP saat itu. Masih polos ketika Bapak bilang kami terpaksa pindah
sekolah sampai kerusuhan berakhir. Ethnis madura selama masa kerusuhan
memilih untuk tidak kembali ke kampung Sunge
Banokng karena telah 7 kali mengalami konflik seperti ini mulai tahun
1983. Hingga sampai sekarang, mereka memutuskan untuk menetap di sekitar
kota Pontianak dan batas kampung Galang, dekat Sungai Pinyuh. Daerah
titik aman bagi ethnis Madura. Padahal Masyarakat dayak serta ethnis
lain masih mau menerima mereka kembali ke kampung dan menetap disana.
Dalam bahasa dayak kandayatn Sunge berarti Sungai dan Banokng berarti kayu. Memang, kampung tersebut memiliki beragam jenis kayu yang tumbuh di tepian sungai mempawah. Di sana merupakan daerah berhutan dan bersumber mata air jernih. Air dari aliran Bukit Samabue yang terletak di sebelah timur kampung Sunge Banokng. Seakan belum terjamah teknologi. Kampung itupun kental dengan tradisi. Walaupun mayoritas penduduk kampung adalah orang dayak, namun mereka tetap menghargai ethnis lain seperti Jawa, Melayu dan Tionghoa. Mitos yang berkembang di sekitar mereka bahwa jika tidak ada keseimbangan antara moral manusia dan sistem pengelolaan daerah, maka alam akan menghukum dengan bentuk kesialan.
Sunge Banokng ini kategorikan satu binua dengan Menjalin, namanya Binua Manyalitn. Sejak tahun 1978 mereka sudah masuk dalam satu kelompok binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung yang dikelompokkan dalam binua yang sama karena memiliki tingkat usaha dan tuntutan moral garis pendapatan masyarakat di daerah itu. Pemimpin binua biasanya disebut dengan Timanggong. Timanggonglah yang berperan dalam pengendalian struktur moral serta tradisi yang nantinya menjadi ciri khas kampung tersebut.
Tataguna lahan Kampung Sunge Banokng termasuk dalam daerah dengan kegiatan pertanian yang menonjol. Jenis pemanfaatan lahan terdiri dari; tanah pemukiman warga, Sawah, Hutan Reservasi Komunitas, Kebun Karet, dan Timawakng yang keseluruhannya berjumlah 301,63 Hektar. Hal tersebut dapat dilihat dari pemanfaatan lahan di kampung tersebut.
Di kampung tersebut juga sarat akan organisasi-organisasi masyarakat yang membentuk beberapa tingkatan komunitas seperti Struktur Kepengurusan Kampung dipilihlah tuha tahutn, pengurus masalah pertanian. Selain itu ada Pangalangok Kampokng sebagai panglima perang jika terjadi wabah, huru hara, kerusuhan. Dan pangarah kampokng laki bini sebagai penyebar informasi warga yang sakit, meninggal dan mengadakan pesta besar. Selain itu ada Organisasi bernama Majelis Taklim. Sebuah organisasi yang merupakan perkumpulan religious bagi muslim yang ada di kampung itu. Ada juga organisasi yang bernama Sule Binua. Organisasi ini dimaksudkan untuk pemberdayaan bukan hanya masyarakat di kampung itu tetapi juga masyarakat dari daerah lainnya. Sule binua tidak identik dengan koperasi saja, tetapi juga membahas seputar forum internal kaum petani. Kegiatan ini memberikan dampak positif dalam meremajakan fungsi ekologis kampung yang makin terpuruk karena masuknya kekejaman ilegal loging dan tambang emas liar.
Dalam bahasa dayak kandayatn Sunge berarti Sungai dan Banokng berarti kayu. Memang, kampung tersebut memiliki beragam jenis kayu yang tumbuh di tepian sungai mempawah. Di sana merupakan daerah berhutan dan bersumber mata air jernih. Air dari aliran Bukit Samabue yang terletak di sebelah timur kampung Sunge Banokng. Seakan belum terjamah teknologi. Kampung itupun kental dengan tradisi. Walaupun mayoritas penduduk kampung adalah orang dayak, namun mereka tetap menghargai ethnis lain seperti Jawa, Melayu dan Tionghoa. Mitos yang berkembang di sekitar mereka bahwa jika tidak ada keseimbangan antara moral manusia dan sistem pengelolaan daerah, maka alam akan menghukum dengan bentuk kesialan.
Sunge Banokng ini kategorikan satu binua dengan Menjalin, namanya Binua Manyalitn. Sejak tahun 1978 mereka sudah masuk dalam satu kelompok binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung yang dikelompokkan dalam binua yang sama karena memiliki tingkat usaha dan tuntutan moral garis pendapatan masyarakat di daerah itu. Pemimpin binua biasanya disebut dengan Timanggong. Timanggonglah yang berperan dalam pengendalian struktur moral serta tradisi yang nantinya menjadi ciri khas kampung tersebut.
Tataguna lahan Kampung Sunge Banokng termasuk dalam daerah dengan kegiatan pertanian yang menonjol. Jenis pemanfaatan lahan terdiri dari; tanah pemukiman warga, Sawah, Hutan Reservasi Komunitas, Kebun Karet, dan Timawakng yang keseluruhannya berjumlah 301,63 Hektar. Hal tersebut dapat dilihat dari pemanfaatan lahan di kampung tersebut.
Di kampung tersebut juga sarat akan organisasi-organisasi masyarakat yang membentuk beberapa tingkatan komunitas seperti Struktur Kepengurusan Kampung dipilihlah tuha tahutn, pengurus masalah pertanian. Selain itu ada Pangalangok Kampokng sebagai panglima perang jika terjadi wabah, huru hara, kerusuhan. Dan pangarah kampokng laki bini sebagai penyebar informasi warga yang sakit, meninggal dan mengadakan pesta besar. Selain itu ada Organisasi bernama Majelis Taklim. Sebuah organisasi yang merupakan perkumpulan religious bagi muslim yang ada di kampung itu. Ada juga organisasi yang bernama Sule Binua. Organisasi ini dimaksudkan untuk pemberdayaan bukan hanya masyarakat di kampung itu tetapi juga masyarakat dari daerah lainnya. Sule binua tidak identik dengan koperasi saja, tetapi juga membahas seputar forum internal kaum petani. Kegiatan ini memberikan dampak positif dalam meremajakan fungsi ekologis kampung yang makin terpuruk karena masuknya kekejaman ilegal loging dan tambang emas liar.