Pendidikan tidak hanya dipandang dari segi
kemandirian para pengurus sekolah dan para staff serta guru-guru yang
terlibat didalamnya, tetapi juga jika dilihat dari maraknya penjualan
pendidikan dengan cara peningkatan iuran smester, pembayaran uang
pembangunan sekolah, serta pembayaran iuran yang tak terduga. Dan itu
semua di alamatkan kepada para siswa. Dengan tidak adanya pertimbangan
dari guru atau staff pengajar bahwa mampu atau tidaknya siswa melunasi
setiap pembayaran iuran yang di ajukan oleh guru kepada mereka. Secara
umum dunia pendidikan memang belum pernah
benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia,dalam arti dibicarakan
secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung
maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan.
Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian besar bagi setiap masyarakat terutama bagi setiap orang tua siswa yang sedang mempersiapkan bekal moril kepada sang anak baik itu jika dihitung dari segi keuangan sang anak dan juga jika dilihat dari segi penerapan pengetahuan diluar lingkungan rumah.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan sekolah sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar sebagai gengsi semata.
Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian besar bagi setiap masyarakat terutama bagi setiap orang tua siswa yang sedang mempersiapkan bekal moril kepada sang anak baik itu jika dihitung dari segi keuangan sang anak dan juga jika dilihat dari segi penerapan pengetahuan diluar lingkungan rumah.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan sekolah sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar sebagai gengsi semata.
Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada sekolah yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada juga sekolah yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat. Produk lulusan sekolah yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.
Bukan
hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini,
dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu
untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar
biasanya banyak, namun hanya beberapa saja yang lulus seleksi. Itu
membuktikan pendidikan yang di terapkan di sekolah belum begitu berhasil
dan mengakibatkan banyak anak putus sekolah yang memilih menjadi
pengangguran tetap.
Sebagian
besar pendidik atau guru memiliki keahlian yang tidak spesifik. Mereka
kebanyakan lulusan tenaga ahli madya (tamatan D.III) dan tidak menempuh
jalur khusus keguruan seperti hanya Perguruan Tinggi Ilmu Pendidikan di
Tanjungpura Pontianak. Pasalnya jarang ada lulusan perguruan tinggi atau
sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan
berkemampuan rata-rata untuk semua bidang atau umum. Jarang ada yang
menguasai bidang-bidang yang spesifik.
Ini
adalah cermin dari proses Pembodohan Kehidupan Bangsa bukan
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan
introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik &
berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak sekolah-sekolah
yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar
oleh pihak sekolah baik itu guru, siswa serta orang tua murid.
Untuk
saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi
sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan
kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di
Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.
Menatap
masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan
terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak
bangsa, semoga komersialisasi pendidikan tidak menjadi sebuah komoditi
bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
secara tepat dan berguna, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal
ditengah kompetisi global.
Maka dari itulah kita mulai dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia. Karena hal ini sesuai dengan paradigma pengembangan sekolah unggulandi berbagai pelosok Indonesia kebanyakan atas dasar kurikulum pendidikan 12 tahun yang berkompetensi.
Sekolah Unggulan dapat diartikan sebagai sekolah bermutu namun dalam penerapan, bahkan penerapan semua kalangan bahwa dalam kategori unggulan tersirat harapan-harapan terhadap apa yang dapat diharapkan dimiliki oleh siswa setelah keluar dari sekolah unggulan. Harapan itu tak lain adalah sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh orang tua siswa, pemerintah, masyarakat bahkan oleh siswa itu sendiri yaitu sejauh mana keluaran (output) sekolah itu memiliki kemampuan intelektual, moral dan keterampilan yang dapat berguna bagi masyarakat.
Dalam
menyikapi semua itu, pemerintah daerah yang bekerjasama dengan beberapa
tenaga pengajar harus mengubah sistem pembelajaran yang selama ini
berlaku disemua tingkat pendidikan yaitu adanya keterkungkungan siswa
dana guru dalam melaksanakan sistem pembelajaran di kelas. Sistem yang
dimaksudkan adalah system dimana Siswa dan Guru dikejar dengan
pencapaian target kurikulum dalam artian guru dituntut menyelesaikan
semua materi yang ada dalam kurikulum tanpa memperhatikan ketuntasan
belajar siswa, disamping itu adanya anggapan bahwa belajr adalah berupa
transformasi pengetahuan padahal kegagalan penyampaian pengetahuan.
Untuk
Profesionalisme bukan berarti menguasai sebagian besar pengetahuan
tatapi lebih penting adalah bagaimana membuat siswa dapat belajar, guru
dan siswa disederhanakan agat tidat tercipta gep, adanya perilaku guru
yang membuat siswa tersisih atau terpisah dari gurunya, guru dan siswa
harus terjalin komunikasi agar dalam proses pembelajaran ada keterbukaan
siswa mengeritik dan mengeluarkan pendapat. Sebab bukan tidak mungkin
dengan pengaruh perkembangan teknologi siswa lebih pintar dari gurunya.
Itulah mengapa penulis menuturkan begitu terpuruknya pengembangan sekolah yang tersebar di Kalimantan Barat tidak hanya di pedalaman tapi juga di kota Pontianak sendiri, ini hanya pelajaran yang dapat kita ambil manfaatnya. Mudah-mudahan pemerintah daerah termasuk para pengajar dan siswa dapat menyadari hal tersebut bahkan mengupayakan bagaimana meningkatkan pendidikan secara lebih baik untuk kedepannya.
Itulah mengapa penulis menuturkan begitu terpuruknya pengembangan sekolah yang tersebar di Kalimantan Barat tidak hanya di pedalaman tapi juga di kota Pontianak sendiri, ini hanya pelajaran yang dapat kita ambil manfaatnya. Mudah-mudahan pemerintah daerah termasuk para pengajar dan siswa dapat menyadari hal tersebut bahkan mengupayakan bagaimana meningkatkan pendidikan secara lebih baik untuk kedepannya.